Connect with us

Nasional

Indonesia Rumah Kita Bersama, Jangan Gunakan Isu Rupiah untuk Kepentingan Kontestasi Politik

Published

on

JAKARTA, Kabartanahpapua.com – Deputi Bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-isu Ekonomi Strategis Kantor Staf Presiden Denni Purbasari mengimbau agar masyarakat tetap tenang dan tidak menjadikan situasi ekonomi saat ini sebagai komoditas politik.

Ia mengingatkan agar masyarakat tidak perlu panik terkait melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang pekan lalu sempat menyentuh Rp15.000 per US$1.

Menurutnya, pelemahan nilai rupiah saat ini tidak dapat disamakan dengan krisis moneter pada 1998 lalu, karena situasinya berbeda. Saat ini Pemerintah bersama BI dan OJK sangat mawas dengan perkembangan situasi yang terjadi dan telah memiliki pengalaman serta akumulasi pengetahuan dalam membanca sinyal dan mencegah krisis keuangan seperti di masa lalu.

“Saya mengajak kepada semua pihak, jangan menggunakan apa yang terjadi pada rupiah sekarang untuk kepentingan kontestasi politik. Indonesia adalah rumah kita bersama. Tidak ada yang diuntungkan kalau rumah kita runtuh,” papar Denni dalam sebuah talkshow akhir pekan di salah satu radio, Sabtu (8/9/2018).

(Baca Juga: Tidak Perlu Panik dengan Pelemahan Rupiah, Indikator Perekonomian Kita Kokoh)

Pada 1998 lalu, kata Denni, kita menganut rezim kurs tetap yang nilainya tidak realistis sehingga depresiasi rupiah mencapai 350 persen.

“Apa yang terjadi sekarang tidak sama dengan 1998. Kita menganut kurs mengambang dan depresiasi terjadi secara gradual. Selain itu, saya tegaskan kondisi ekonomi Indonesia tidak sama seperti Turki dan Argentina,” tegas doktor ekonomi lulusan University of Colorado at Boulder ini.

Menurutnya, situasi ekonomi di Indonesia, khususnya dalam satu pekan terakhir ini, sebagian besar disebabkan adanya sentimen negatif pelaku pasar terhadap apa yang terjadi di Argentina dan sebelumnya Turki.

“Bila ditarik dari kurun waktu mulai dari April, tekanan terhadap rupiah sangat dipengaruhi oleh peningkatan suku bunga Fed, kebijakan fiskal AS yang ekspansif, dan perang dagang yang direspon dengan devaluasi Yuan,” papar akademisi UGM ini.

Denni tak memungkiri bahwa kondisi rupiah ini juga tidak terlepas dari persoalan domestik, yaitu defisit neraca transaksi berjalan. Namun ini persoalan lama, yang berakar dari kurang unggulnya produktivitas negara kita dalam memproduksi barang dan jasa jika dibandingkan dengan negara lain.

“Produktivitas yang rendah menyebabkan daya saing kita rendah dan ekspor tidak tumbuh cepat dibandingkan impor,” ujar Denni.

Untuk menyelesaikan persoalan ini, pemerintah meluncurkan sejumlah kebijakan, di antaranya dengan menurunkan defisit fiskal, memberlakukan B20, menjadwalkan ulang beberapa proyek infrastruktur yang belum dibangun, serta menaikkan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 untuk 1.147 barang konsumsi impor seperti sabun, shampoo, kosmetik, hingga lemari es. Hal ini dilakukan untuk memperlambat pertumbuhan impor barang konsumsi dan mendorong produksi domestik.

“Dalam hal ini pemerintah hanya memberlakukan untuk barang konsumsi, bukan bahan baku, karena pemerintah tahu bahan baku impor digunakan untuk menunjang produksi nasional,” kata Denni.

Jaga Stabilitas Harga Bahan Pokok

Ketika ditanya mengapa impor beras dibiarkan terjadi padahal berkontribusi terhadap current account deficit mantan Asisten Staf Khusus Wakil Presiden Boediono itu menerangkan, “Statistik menunjukkan 25 sampai 32 persen belanja keluarga miskin adalah untuk beras. Kita harus melindungi perut rakyat dengan menjaga stabilitas harga beras.”

(Baca Juga: APBN 2019 Fokus Menjaga Ekonomi dan Sosial Masyarakat Hadapi Ketidakpastian Global)

Kestabilan harga bahan pokok dilakukan dengan memastikan produksi dalam negeri optimal, distribusi lancar, dan kalau cadangan mepet maka terpaksa harus dilakukan impor. “Tapi impor dilakukan pada waktu yang tepat, agar tidak mengganggu kesejahteraan petani kita,” ungkap Denni.

Untuk memperbaiki dan meningkatkan produktivitas, kata Denni, Presiden Jokowi fokus pada tiga hal, yakni Pertama, pembangunan infrastruktur untuk menekan biaya produksi dan distribusi. Hasilnya, peringkat Logistic Performance Index Indonesia naik 7 tingkat dibandingkan 2 tahun lalu.

Kedua, memperbaiki iklim usaha dan investasi, termasuk pencanangan Saber Pungli serta berbagai kebijakan untuk kemudahan berusaha. Hasilnya, peringkat EoDB Indonesia meningkat tajam.

Dan ketiga, pembangunan sumber daya manusia (SDM), yang dimulai sejak dari kandungan (memberantas stunting) hingga pada pendidikan maupun pelatihan vokasi.

“Harus diingat, sumber dari produktivitas adalah manusia. Namun ketiga langkah ini adalah solusi jangka panjang,” kata Denni.

Sedangkan untuk solusi jangka pendek, Denni meminta publik tidak melupakan peran Bank Indonesia. “Karena tekanan terjadi di pasar keuangan, pada rupiah, dalam jangka pendek, yang lebih besar peranannya adalah Bank Indonesia selaku pemegang otoritas moneter. Pemerintah menghargai independensi Bank Indonesia. Silakan Bank Indonesia melakukan langkah-langkah yang dianggap perlu,” ungkapnya.

(Baca Juga: Demokrasi yang Kondusif dan Stabilitas Keamanan Modal Memperkuat Ekonomi Nasional)

Dalam diskusi tersebut, Denni menekankan, bahwa tidak ada pertumbuhan tanpa stabilitas. “Pemerintah realisitis bahwa stabilitas ekonomi jadi prioritas dalam kondisi seperti saat ini,” kata Deputi III KSP ini.

Turun hadir dalam talkshow bertajuk “Jurus Jitu Jagain Rupiah” antara lain Wakil Ketua Komite Ekonomi Nasional Arief Budimanta, ekonom INDEF Bhima Yudistira, Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Tutum Rahanta, Praktisi Pasar Modal Lucky Bayu Purnomo dan pengamat ekonomi Yanuar Rizky. (Fox)

Komentar