Connect with us

Nasional

Tagih Janji Presiden, Pekerja Ungkap Kejanggalan Penanganan Mogok Kerja oleh Disnaker Papua

Published

on

JAKARTA, KTP.com – Perwakilan Pekerja Korban PHK Sepihak PT Freeport Indonesia (PTFI) Stefen Yawan menuding ada persekongkolan jahat antara perusahaan dan birokrasi untuk mendelegitimasi mogok kerja yang dilakukan 8 ribu pekerja PTFI sejak 2017 lalu.

Yawan mengingatkan meski PTFI anak perusahaan multinasional bukan berarti tidak berpotensi melakukan praktik kotor dalam berbisnis.

Ia mencontohkan penetapan Undang-Undang (UU) Antikorupsi “Foreign Corrupt Practices Act” yang ditandatangani Presiden Jimmy Carter pada 19 Desember 1977 setelah terungkapnya praktik suap 400-an perusahaan AS di luar negeri untuk memenangkan kontrak bisnis.

“Kami mendesak Presiden Jokowi selaku Kepala Negara untuk melaksanakan janjinya 2 tahun silam. Kami mogok kerja sesuai UU Tenaga Kerja untuk menentang praktik yang tidak dikenal dalam perundang-undangan Indonesia,” ujar Yawan di Jakarta.

(Baca Juga: Audiensi ke DPRD Mimika, Moker Desak Disnaker Papua Tindak Lanjuti Nota Dinas ke PTFI)

Setelah pemogokan berlangsung tanpa respons, kata Yawan, pihaknya melalui Pimpinan Cabang Serikat Pekerja Kimia Energi dan Pertambangan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (PC SP-KEP SPSI) Kabupaten Mimika mengadukan dugaan PTFI melakukan pelanggaran norma ketenagakerjaan ke Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Papua.

Surat pengaduan kami dengan nomor surat ADV/032/PC/FSPKEP/SPSI/ KABUPATEN MIMIKA/VII/2018 perihal dugaan pelanggaran norma-norma dasar ketenagakerjaan di PTFI.

“Dari pengaduan ini, Disnakertrans Papua kemudian melakukan pemeriksaan lapangan dan dokumen. Dari kajian itu Disnakertrans Papua pada tanggal 12 September 2019 berkirim surat ke PTFI dan PC SP-KEP SPSI Kabupaten Mimika yang kami terima dengan nomor surat 560/1271 perihal Penjelasan Penanganan Kasus PTFI,” kata Yawan.

Fakta Mogok Kerja

Yawan mengungkapkan ada 7 poin hasil telaah Disnakertrans Provinsi Papua dalam surat itu, yakni:
pertama, furlough tidak dikenal dalam UU No 13 tahun 2003; kedua, sebelum melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK), PTFI harus berpedoman pada Pasal 151 ayat (1), (2) dan (3) UU No 13 tahun 2003;

Ketiga, perusahaan tidak berpedoman pada Pasal 155 ayat (1), (2) dan (3) saat menyurati BPJS Kesehatan Cabang Jayapura yang menyebabkan pekerja dan tanggungannya dikeluarkan dari tagihan PTFI;

Keempat, Manajemen PTFI menyatakan mogok kerja yang dilakukan oleh pekerjanya tidak sah tanpa penetapan dari pemerintah dan putusan yang berkekuatan hukum tetap (Inkracht) dari pengadilan; kelima, bahwa mogok kerja yang dilakukan oleh pekerja sudah sesuai dengan Pasal 137 dan 140 ayat (1) dan (2) UU No 13 tahun 2003;

Keenam, mogok kerja yang dilakukan oleh pekerja sah, sesuai dengan UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja 232/2003; ketujuh, sehubungan dengan hal-hal di atas, perusahaan harus berpedoman pada UU yang berlaku dan untuk melakukan PHK, perusahaan harus mengacu pada UU No 2 Tahun 2004 dan perusahaan harus tetap membayarkan hak-hak pekerja selama belum ada putusan tetap dari pengadilan.

“Sudah sangat jelas bahwa temuan Disnakertrans Papua menegaskan bahwa mogok kerja yang dilakukan 8 ribuan pekerja sah dan PTFI telah melakukan PHK sepihak tanpa mengacu pada aturan perundang-undangan. Jadi yang disampaikan juru bicara PTFI adalah pembohongan publik,” katanya.

(Baca Juga: Pekerja Korban PHK Sepihak PTFI Tagih Janji Presiden 2 Tahun Silam)

Karena surat Kemenakertrans Papua tidak ditanggapi PTFI, selanjutnya Gubernur Papua Lukas Enembe bersurat ke PTFI dengan Nomor 540/14807/SET perihal Penegasan Kasus Mogok Kerja PTFI tertanggal 13 Februari 2019.

Surat itu, kata Yawan, secara tegas memerintahkan PTFI untuk kembali mempekerjakan para pekerja yang melakukan mogok kerja sebelum mereka dianggap mengundurkan diri dan membayar hak-hak pekerja sesuai peraturan perundang-undangan.

“Namun apa yang dilakukan manajemen PTFI justru tidak mengindahkan surat Gubernur selaku kepala daerah provinsi dimana perusahaan itu beroperasi,” ucapnya.

Perwakilan pekerja korban PHK sepihak PT Freeport Indonesia (PTFI) menggelar unjuk rasa di Taman Aspirasi Monas, Jakarta, Jumat (12/3/2021). (ist)

Pada hari yang sama dengan surat Gubernur, katanya, perwakilan para pekerja korban PHK sepihak PTFI diterima Presiden Joko Widodo. Dalam pertemuan yang juga dihadiri Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, Presiden berjanji akan memanggil kami kembali dengan Menteri Tenaga Kerja dan pihak PTFI untuk duduk bersama mencari solusi.

“Faktanya hingga saat ini panggilan dari Bapak Presiden tidak kunjung datang. Itulah sebabnya kami kembali menggelar unjuk rasa,” ucap Panji Agung rekan Yawan.

Indikasi Korupsi

Pada tanggal 16 Desember 2019, Disnakertrans Papua berkirim surat ke Pimpinan Unit Kerja (PUK) SP-KEP SPSI PTFI dengan nomor surat 560/1456/2019 sebagai jawaban dari surat PUK SP-KEP SPSI PTFI yang mengadukan dugaan pelanggaran norma ketenagakerjaan.

“Dalam surat itu Disnakertrans Papua menjelaskan telah menerbitkan Nota Pemeriksaan pertama berdasarkan Pasal 30 Permenaker Nomor 33 Tahun 2016,” ujarnya.

(Baca Juga: Mogok Kerja Kerap Berujung PHK, DPRD Mimika Imbau PTFI Pertimbangkan Sisi Kemanusiaan)

Namun, setelah penerbitan Nota Pemeriksaan Pertama itu hingga saat ini tidak ada kelanjutannya.
Padahal, kata Panji, berdasarkan Pasal 31 ayat (1) Permenaker Nomor 33 Tahun 2016, bahwa setelah batas waktu 30 hari setelah penerbitan Nota Pemeriksaan Pertama maka pengawas ketenagakerjaan yang melakukan pemeriksaan wajib menerbitkan Nota Pemeriksaan Kedua.

Terkait nota pemeriksaan pada dasarnya tidak memerlukan tanggapan dari pihak pengusaha karena nota pemeriksaan sifatnya perintah untuk dilaksanakan oleh pengusaha.

“Kami menduga ada indikasi pegawai pengawas Disnakertrans Papua ikut bermain menghambat proses ini. Terlebih belakangan dia diketahui berpotensi konflik kepentingan dari suaminya salah seorang staf di PTFI,” ungkapnya.

Salah satu kejanggalan, kata Panji, terlihat dari surat Disnakertrans Papua nomor 560/1456/2019 yang kami terima. Dalam surat itu mengajurkan para pekerja yang melakukan mogok kerja untuk mengajukan gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial (PPHI) paling lama 1 tahun setelah dilakukan PHK.

Hal ini tentu aneh karena Nota Pemeriksaan Pertama diterbitkan setelah dua tahun sejak PTFI melakukan PHK massal terhadap pekerja yang menggelar mogok kerja.

“Ini tentu permainan yang pasti ada nilainya. Kami berharap pihak berwenang mengungkap kemungkinan praktik korupsi dalam kasus ini,” tegasnya.

Panji menuding ada kesengajaan PTFI mengulur waktu hingga pemerintah mengambil alih PTFI setelah proses divestasi berhasil sehingga pelanggaran terhadap pekerja dibebankan kepada manajemen baru.

“Ini menjadi preseden buruk investasi asing di Tanah Air. Karena itu kami mendesak Presiden turun tangan dan tak lupa dengan janjinya kepada para pekerja korban PHK sepihak PTFI,” ucapnya. (FOX)

Komentar
Continue Reading
Advertisement
   
   
   
   
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *