Connect with us

Tanah Papua

SK Pengangkatan Pejabat Sekda Papua Cacat Hukum

Published

on

JAYAPURA, KTP.com – Pemerintah Daerah (Pemda) Provinsi Papua memiliki dua pejabat Sekretaris Daerah (Sekda) setelah diadakan pelantikan dalam waktu hampir bersamaan di Jakarta dan Jayapura, Senin (1/3/2021) kemarin.

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian melantik Dance Yulian Flassy sebagai Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Papua di Kantor Kemendagri Jakarta.

Pelantikan Sekda definitif Provinsi Papua ini berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) RI Nomor 159/TPA Tahun 2020 tentang Pengangkatan Pejabat Pimpinan Tinggi Madya di Lingkungan Pemerintah Provinsi Papua yang ditetapkan 23 September 2020 lalu.

Pada waktu yang hampir bersamaan, Wakil Gubernur Provinsi Papua Klemen Tinal melantik Doren Wakerkwa sebagai pejabat Sekda Provinsi Papua di Gedung Negara Dok V, Jayapura.

Pelantikan Doren Wakerkwa sebagai pejabat Sekda Papua ini berdasarkan SK Gubernur Papua Nomor 821.2-1253 tertanggal 1 Maret 2021.

(Baca Juga: Kekerasan Terus Berulang, Pimpinan Gereja Katolik di Papua Ajukan Tiga Solusi)

Setelah dualisme Sekda Papua mencuat, Gubernur Papua Lukas Enembe mengungkapkan alasannya mengeluarkan surat keputusan pelantikan pejabat sekda karena tidak menginginkan kekosongan pejabat sekda.

Gubernur Enembe berdalih tidak mengetahui pelantikan Sekda definitif yang dilakukan Mendagri dan menegaskan tetap menghormati Keppres RI Nomor 159/TPA Tahun 2020.

“Kami tetap akan menerima Sekda definitif setelah berakhirnya jabatan pejabat Sekda yang sudah dilantik dengan mempertimbangkan budaya Papua, karena tidak ada alasan sesuai ketentuan bahwa penetapan Sekda ditetapkan oleh Presiden melalui Mendagri,” kata Enembe dikutip dari Pasificpos.com.

Mendagri Tito Karnavian melantik Dance Yulian Flassy sebagai Sekda Provinsi Papua di Kantor Kemendagri Jakarta, Senin (1/3/2021). (Pasificpos.com)

Menolak Keppres

Terkait alasan yang disampaikan Gubernur Enembe terkesan mengada-ada mengingat Presiden telah menetapkan Sekda Papua definitif sejak 23 September 2020 lalu.

Selain itu, Sekda terpilih berdasarkan 3 nama yang diajukan oleh Gubernur Papua kepada Presiden melalui Mendagri berdasarkan hasil seleksi terbuka Sekda Provinsi Papua 2020.

(Baca Juga: Catatan Kriminal Ferry Elas, DPO Polres Mimika Sejak 2017)

Permasalahan sesungguhnya dari polemik ini, karena Gubernur Enembe menolak pilihan Presiden dan lebih mengingikan Doren Wakerkwa sebagai Sekda Papua.

Penolakan tersebut tertuang dalam surat Gubernur Papua kepada Presiden tertanggal 27 Oktober 2020 dengan nomor 8212/19148/SET.

Dalam surat itu Gubernur Enembe menyampaikan 3 alasannya. Pertama, Doren Wakerkwa meraih nilai tertinggi dalam seleksi terbuka Sekda Papua, sementara Dance Flassy meraih nilai terendah dari 3 calon.

Kedua, Gubernur Enembe menilai Dance tidak memiliki kapasitas yang cukup mengemban jabatan Sekda Papua mengingat permasalahan di Provinsi Papua sangat kompleks.

Alasan ketiga, Gubernur Enembe menyebut Papua sangat membutuhkan Sekda yang kuat dan tegas menyusul berakhirnya otonomi khusus.

“Kami berharap Bapak Presiden segera menerbitkan Keppres RI yang baru atas nama Doren Wakerkwa yang kami butuhkan saat ini,” ujar Enembe dilansir dari laman Innews.co.id.

Cacat Hukum

Dalam kasus penerbitan SK pengangkatan Doren Wakerkwa selaku pejabat Sekda Provinsi Papua oleh Gubernur Enembe sangat dipastikan cacat hukum karena harus dengan persetujuan Mendagri.

Hal ini mengacu pada Pasal 5 ayat (1) Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 3 Tahun 2018 tentang Pejabat Sekretaris Daerah.

“Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat mengangkat penjabat sekretaris daerah provinsi untuk melaksanakan tugas sekretaris daerah provinsi setelah mendapat persetujuan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri”.

Aturan ini dipertegas pada Pasal 13 Perpres Nomor 3 Tahun 2018 tentang Pejabat Sekretaris Daerah.

“Ketentuan dalam Peraturan Presiden ini berlaku juga bagi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Provinsi Aceh, Provinsi Papua, dan Provinsi Papua Barat, sepanjang tidak diatur secara khusus dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur keistimewaan dan kekhususan daerah tersebut”.

(Baca Juga: Otsus Berakhir, Kontrak dengan Pemerintah Indonesia Berakhir?)

Sementara itu, Keputusan Mendagri untuk melantik Sekda Papua, yang dipermasalahkan Gubernur Papua, sudah tepat mengingat Keppres pengangkatan Sekda definitif sudah ditetapkan sejak September 2020 lalu.

Mengacu pada Pasal 235 ayat (2) Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, memungkinkan Menteri melantik perangkat daerah hasil seleksi yang ditolak oleh kepala daerah.

“Dalam hal kepala Daerah menolak mengangkat dan/atau melantik kepala Perangkat Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri mengangkat dan/atau melantik kepala Perangkat Daerah provinsi dan gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat mengangkat dan/atau melantik kepala Perangkat Daerah kabupaten/kota”

Kasus penolakan pelantikan Sekda terpilih oleh Gubernur bukan kali pertama dilakukan Gubernur Papua. Pada 16 Juli 2019 lalu, Mendagri melantik Abdullah Sani sebagai Sekda Kalimantan Timur menyusul penolakan Gubernur Kaltim untuk melantik Sekda terpilih. (ONG)

Komentar
Continue Reading
Advertisement
   
   
   
   
   
   
   
   
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *