Connect with us

Tanah Papua

MK Tidak Menerima Permohonan Koalisi Advokat untuk Kebenaran dan Keadilan Rakyat Papua

Published

on

JAKARTA, Kabartanahpapua.com – Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan tidak menerima permohonan Koalisi Advokat untuk Kebenaran dan Keadilan Rakyat Papua yang dibacakan dalam Sidang Pleno di Gedung MK, Jakarta, Senin (6/1/2020).

Koalisi Advokat untuk Kebenaran dan Keadilan Rakyat Papua mewakili 14 pemohon dari Provinsi Papua dan Papua Barat mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 1969 tentang Pembentukan Provinsi Otonom Irian Barat dan Kabupaten-Kabupaten Otonom di Provinsi Irian Barat.

Para pemohon berdalil, pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat atau Pepera (Act of Free Choice) sebagai dasar lahirnya UU Nomor 12/1969, hanya diikuti sejumlah orang yang tergabung dalam Dewan Musyawarah Pepera dan tidak menggunakan sistem one man one vote. Hal ini, menurut pemohon tidak sejalan dengan Pasal 28 E ayat (2) dan Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945.

“Menyatakan permohonan para pemohon tidak dapat diterima,” ujar Anwar Usman membacakan amar Putusan MK Nomor 35/PUU-XVII/2019.

Dalam pertimbangan hukumnya, Majelis Hakim Konstitusi menilai permohonan yang diajukan sejumlah aktivis dan tokoh gereja di Papua, tidak berkaitan dengan persoalan konstitusionalitas.

Permohonan tersebut sesungguhnya untuk menguji keabsahan peristiwa hukum internasional yang bernama Pepera yang berlangsung pada 14 Juli hingga 2 Agustus 1969. Sementara hasil Pepera ini telah diakui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang tertuang dalam Resolusi Majelis Umum PBB 2504 (XXIV).

“Mendalilkan adanya kerugian hak konstitusional dari ketentuan dalam UU Nomor 12/1969, yang notabene adalah UU yang menindaklanjuti Pepera yang dilaksanakan di bawah pengawasan PBB dan diakui oleh Majelis Umum PBB melalui Resolusi Nomor 2504 (XXIV), sama artinya “memaksa” MK untuk menilai keabsahan tindakan PBB, in casu Majelis Umum PBB,” kata I Dewa Gede Palguna.

“MK jelas tidak memiliki kewenangan demikian,” kata Palguna menegaskan.

Terkait permohonan ini, kata Majelis Hakim Konstitusi, bahkan Mahkamah Internasional atau International Court of Justice (ICJ) yang notabene adalah organ yudisial utama PBB yang memiliki kewenangan mengadili masalah hukum internasional apapun, juga tidak otomatis dapat menggunakan kewenangannya.

Untuk menggunakan kewenangannya, ICJ harus memenuhi ketentuan tertentu, misalnya subjek yang boleh menjadi pihak di hadapan ICJ dan persetujuan dari pihak-pihak bersengketa yang menyatakan bahwa mereka sepakat menyerahkan penyelesaian masalahnya kepada ICJ.

“Dengan pertimbangan hukum ini, bukan berarti UU yang bersumber dari Resolusi Majelis Umum PBB tidak dapat dipersoalkan konstitusionalitasnya sepanjang tidak mempersoalkan keabsahan suatu peristiwa hukum internasional. Mengenai UU Nomor 12/1969 yang berasal dari hasil Keputusan Dewan Musyawarah Pepera yang menyangkut pembentukan daerah, in casu Provinsi Irian Barat, adalah sah dan final,” terangnya.

“Pendirian Majelis Hakim Konstitusi ini dapat dibaca dalam, di antaranya, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-XIII/2015 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-XIV/2016,” katanya menambahkan.

Oleh karena itu, menjadi tidak logis untuk menyatakan suatu UU yang menindaklanjuti suatu peristiwa hukum yang absah menurut hukum internasional sebagai UU yang merugikan hak konstitusional seseorang atau sekelompok orang tanpa terlebih dahulu mempersoalkan keabsahan peristiwa hukum internasional yang ditindaklanjuti dimaksud.

Namun, dalam kasus ini MK tidak berwenang untuk menilai keabsahan Pepera ataupun Resolusi Umum PBB Nomor 2504 (XXIV) yang mengakui keabsahan Pepera yang dimaksud.

“Dengan pertimbangan ini, secara substansial pemohon sesungguhnya mempersoalkan keberadaan Pepera dan tidak ada persoalan kerugian hak konstitusional yang lahir sebagai akibat dari berlakunya frasa ‘bahwa sebagai tindak lanjut dari hasil Pepera yang menetapkan Irian Barat tetap merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia’ dalam pertimbangan UU Nomor 12/1969,” katanya.

“Oleh karena tidak terdapat persoalan kerugian hak konstitusional maka Majelis Hakim Konstitusi berpendapat para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai pemohon dalam perkara ini sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK,” terangnya.  (Fox)

Komentar