Connect with us

Tanah Papua

Kecam Aksi Rasisme, Ribuan Massa Unjuk Rasa di Papua dan Papua Barat

Published

on

JAYAPURA, Kabartanahpapua.com – Aksi massa yang berujung kerusuhan terjadi di Manokwari dan Sorong, Provinsi Papua Barat, Senin (19/8/2019).

Aksi ini dipicu dugaan persekusi dan aksi rasisme terhadap mahasiswa asal Papua yang dilakukan anggota sejumlah ormas di depan Asrama Papua di Kamasan, Kecamatan Tambaksari, Kota Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (17/8/2019).

Awalnya pengunjuk rasa melakukan aksi blokade sejumlah ruas jalan di Manokwari. Kapolda Papua Barat Brigjen Pol Herry Rudolf Nahak sempat datang menemui massa dan meminta mereka tidak melakukan aksi anarkis.

Ketika massa terus bertambah, akhirnya tidak terkendali dan berujung perusakan sejumlah fasilitas umum. Aksi ini akhirnya mereda pada sore hari, setelah Wakil Gubernur Papua Barat Mohamad Lakotani bersama Kapolda Papua Barat dan Pangdam XVIII Kasuari berdialog dengan pengunjuk rasa.

“Kami sudah berkoordinasi dengan Gubernur Jawa Timur Ibu Khofifah dan beliau telah menyampaikan permintaan maaf. Kami juga sudah meminta agar beliau mengambil langkah-langkah mengenai kasus ini,” ujar Lakotani usai bertemu pengunjuk rasa.

Kejadian serupa terjadi di Sorong, di mana massa sempat merusak sejumlah kendaraan dan fasilitas di terminal penumpang Bandar Udara Domine Eduard Osok Sorong. Aksi anarkis warga ini akhirnya bisa diredam setelah aparat kepolisian bersama TNI menghalau massa keluar dari wilayah bandara.

Gubernur Papua Lukas Enembe. (Rex)

Unjuk Rasa Damai di Jayapura

Aksi massa serupa juga terjadi di Jayapura, Provinsi Papua. Ribuan massa berjalan kaki dan menggunakan kendaraan roda dua dari Abepura menuju Kantor Gubernur Papua di Dok II, Kota Jayapura.

Aksi massa ini dikawal ketat aparat kepolisian. Tiba di halaman Kantor Gubernur, massa diterima oleh Gubernur Papua Lukas Enembe didampingi Ketua MRP dan Ketua DPRP beserta anggota.

Di hadapan Gubernur, massa menyampaikan 4 tuntutan. Pertama, mendesak agar Pemerintah Provinsi Papua meminta agar Presiden, Panglima TNI, Kapolri, dan Gubernur Jawa Timur menindak tegas dan memproses hukum anggota ormas dan oknum TNI-Polri yang telah melakukan tindakan rasisme kepada mahasiswa Papua.

Kedua, mendesak agar Wali Kota meminta maaf kepada masyarakat Papua dan mahasiswa Papua atas pernyataannya. Ketiga, meminta kepada Presiden untuk memberikan perlindungan bagi pelajar dan mahasiswa asal Papua di seluruh Indonesia terhadap berbagai tindakan teror dan ancaman dari ormas dan aparat.

Keempat, apabila tindakan rasisme, intimidasi, persekusi, dan ketidakadilan terus dilakukan terhadap masyarakat Papua dan mahasiswa Papua, maka kami minta kedaulatan dikembalikan kepada rakyat atau referendum.

Di hadapan ribuan pengunjuk rasa, Gubernur Enembe mengaku sudah berkoordinasi dengan Pemerintah Pusat dan Pemprov Jawa Timur. Kepada Khofifah, Gubernur Enembe menyampaikan bahwa orang Papua mencintai almarhum Gus Dur (Abdurrahman Wahid), karena beliau sangat mencintai rakyat Papua.

“Ibu Gubernur merupakan kadernya Gus Dur, kenapa mahasiswa Papua dianiaya seperti itu hanya karena masalah bendera, tindakan itu tidak dibenarkan,” kata Gubernur Enembe.

Gubernur Enembe menegaskan bahwa orang Papua bukan turunan binatang, karena orang Papua punya harga diri dan martabat sebagai manusia. Terbukti, katanya, ada 1.500 anak-anak asal Papua bisa kuliah di seluruh dunia dan bisa meraih nilai yang bagus.

“Sekarang sudah 74 tahun merdeka, kenapa masih ada pemikiran penjajah. Aspirasi yang disampaikan ini akan kami bawa kepada Presiden,” ucap Enembe.

Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa (Foto: JAY/Humas)

Permintaan Maaf

Menyikapi aksi massa yang terjadi di Papua dan Papua Barat, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa mengaku kaget dengan kejadian itu karena selama ini hubungan dengan masyarakat dan mahasiswa Papua di Jawa Timur terjalin sangat baik.

Ia menegaskan, dalam dinamika kehidupan berbangsa, masing-masing harus membangun satu komitmen untuk menjaga NKRI, Pancasila dan Merah Putih. Atas nama komitmen ber-Indonesia itu, Khofifah mengajak semua pihak untuk bersama-sama menempatkan satu dengan yang lain setara, saling menghormati dan menghargai.

“Mengenai berita viral dengan sebutan-sebutan tertentu yang sensitif, tadi saya bertelpon dengan Gubernur Papua Bapak Lukas Enembe, kami mohon maaf karena itu bukan sama sekali mewakili suara masyarakat Jawa Timur,” ujar Khofifah.

Hal senada disampaikan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini yang membantah pengusiran terhadap mahasiswa asal Papua di Kota Surabaya. Menurut Risma, kejadian yang terjadi di Asrama Papua di Kamasan dipicu penurunan bendera merah putih yang diadukan oleh ormas kepada kepolisian.

“Jadi tidak benar ada pengusiran itu. Kalau itu terjadi, mestinya pejabat saya yang duluan. Tapi, pejabat saya masih bekerja dan seluruh mahasiswa asal Papua juga masih beraktivitas normal,” ujarnya.

Pemkot Surabaya, kata Risma, selama ini telah menjalin hubungan yang sangat baik dengan melibatkan masyarakat dan mahasiswa asal Papua dalam kegiatan Pemkot Surabaya. Ia menyesalkan jika hubungan baik yang sudah terjalin, kemudian hancur hanya karena emosi.

“Kalau memang itu ada kesalahan di kami di Surabaya, saya mohon maaf. Tapi, tidak benar kami dengan sengaja mengusir, tidak ada itu. Bagi saya dan Forkompimda Kota Surabaya, kita tetap satu kesatuan dalam negara dan bangsa,” kata Risma.

Kesimpangsiuran Informasi

Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian mengakui aksi massa yang terjadi di Papua dan Papua Barat karena dipicu kejadian yang menimpa mahasiswa asal Papua di Surabaya dan Malang. Ia menyesalkan kejadian itu, karena selama ini sudah banyak pelajar dan mahasiswa yang menuntut ilmu di Pulau Jawa dan tidak terjadi masalah.

“Aksi massa di-trigger oleh kesimpang siuran informasi atau kesalahpahaman, kemudian mungkin ada yang membuat kata-kata yang kurang nyaman sehingga membuat saudara-saudara kita yang ada di Papua terusik dengan bahasa-bahasa seperti itu,” ujar Tito.

Tito menegaskan bahwa kejadian yang menimpa mahasiswa Papua di Malang dan Surabaya sebenarnya sudah dilokalisir dan diselesaikan oleh Muspida setempat.

“Tapi kemudian muncul hoaks, ada kata-kata yang kurang etis mungkin, ada juga hoaks gambar seolah-olah ada adik kita asal Papua meninggal, padahal tidak. Informasi ini kemudian berkembang, karena ada pihak-pihak yang mengembangkan untuk kepentingan mereka sendiri,” kata mantan Kapolda Papua 2012-2014 ini.

Ia berharap agar semua pihak bisa menahan diri dan tidak terpancing dengan informasi yang tidak benar.

“Kepada saudara-saudara di Papua, jangan mudah terpancing, dan saudara-saudara di luar Papua, perlakukan anak-anak Papua sebagai anak bangsa Indonesia, sebagai saudara kita sendiri,” ucap Tito. (Mas/Ong)

Komentar