JAYAPURA, HaIPapua.com – Septinus George Saa memberikan apresiasi kepada Pemerintah Provinsi Papua dibawah kepemimpinan Lukas Enembe yang gencar mengirim putra putri Papua ke luar negeri untuk melanjutkan pendidikan dengan bantuan beasiswa.
Namun dibalik program yang baik ini, Septinus mengungkapkan beberapa saran yang bisa menjadi pertimbangan bagi kelanjutan program Pemprov Papua untuk mengirim putra putri Papua menuntut ilmu ke luar negeri.
Ketersediaan Lapangan Pekerjaan di Papua
Pertama, kata George Saa, perlu diketahui bahwa menamatkan pendidikan di luar negeri apalagi hanya sampai jenjang pendidikan S1 atau S2 saja, belum tentu ilmu yang didapati dapat langsung diterapkan di Papua. Alasan utamanya adalah posisi yang disiapkan untuk mereka bekerja belum tersedia, atau belum disiapkan oleh Pemprov Papua.
“Lembaga riset strategis di Papua belum didirikan dan bila sudah adapun, bila mereka masuk dan bekerjapun masih harus di mentor lagi,” kata George Saa melalui surat elektroniknya, Jumat (16/2/2018).
Hal lain yang penting, kata George Saa, adalah bidang studi yang mereka ambil terkadang tidak aplikatif langsung di Papua. Ia mencontohkan pendidikan di Amerika bertujuan untuk menyiapkan tenaga-tenaga kerja bagi industri yang ada di negara itu.
“Di Amerika, mahasiswa dididik dan disiapkan dengan tujuan agar nantinya mereka masuk bekerja di industri-industri di negara itu. Industri yang sudah stabil dengan program induction yang lengkap juga proses mentoring di dalam perusahaan yang jelas, sehingga mereka dapat beradaptasi cepat,” kata Mahasiswa Program Magister di University of Birmingham, Inggris ini.
Selain itu, yang perlu diketahui adalah kelengkapan alat/laboratorium dimana mereka belajar di Amerika belum tentu dengan mudah didapatkan di Papua. Misalnya, kata George Saa, ketika mereka ingin menerapkan ilmunya, sudah pasti alat yang mereka pakai selama belajar dan juga bisa dipakai saat bekerja/mengembangkan suatu konsep, desain atau membuat suatu produk belum tentu tersedia.
“Hal ini sudah lazim bukan saja di Papua namun di Jakartapun belum tentu ada. Biaya yang diperlukan untuk mendirikan laboratorium dengan instrumen penelitian yang lengkappun harganya selangit dan mungkin saja instrumen-instrumen ini diproduksi khusus untuk industri ataupun lembaga riset/institute di Amerika. Ini salah satu contoh saja,” kata George Saa yang pernah memenangkan kompetisi dunia First Step to Nobel Prize dalam Ilmu Fisika tahun 2004 silam.
Beri Kelonggaran Untuk Berkarir di Luar Negeri
Kedua, kata George Saa, mereka yang dikirim belajar di luar negeri, terkadang didoktrin untuk pulang bangun Papua. Ini banyak didapati dari nasehat dan imbauan dari orang-orang yang mengurus program beasiswa ini. Padahal, ilmu yang mereka dapatkan di kampus ini rata-rata ilmu dasar, juga aplikasi sebatas perhitungan di atas kertas dengan sedikit praktikum dasar.
“Ketika mereka harus balik dan bekerja, mereka ini perlu diedukasi atau dibimbing lagi oleh pekerja profesional yang lebih senior dalam hal pengaplikasian ilmunya. Akhirnya akan ada gap besar bagi mereka untuk bagaimana mengaplikasikan ilmu mereka,” katanya.
Oleh karena itu, menurut George Saa, harusnya mereka bukan saja diberi beasiswa, namun juga kelonggaran serta kesempatan untuk berkarir, tinggal di luar negeri, bekerja secara professional di negara tempat mereka menuntut ilmu. Harapannya, ketika mereka balik ke Papua, mereka datang dengan kantong-kantong kemapanan mereka seperti uang, pengalaman praktis, dan juga koneksi.
“Disini, ketika mereka balik, mereka datang menjadi solusi dan bukan lagi datang dan menanyakan dimana posisi mereka bekerja, atau meminta dukungan lagi dari pemerintah kita untuk mereka bergerak. Bahkan mungkin mereka dapat secara mandiri mendirikan lembaga, usaha ataupun menerapkan teknologi yang mereka kuasai dari pengalaman bekerja di luar negeri,” kata George Saa.
George Saa juga mengungkapkan kemungkinan mendapat penawaran dari negara tempat mereka menuntut ilmu untuk mendirikan perusahaan baru (start up). Untuk peluang ini, katanya, Pemprov bisa bantuan dana sehingga mereka bisa mengakses pasar yang jelas di negara tersebut.
“Hasilnya, saat mereka datang ke Papua, entah menjadi investor atau konsultan atau pebisnis mandiri, mereka akan menjadi solusi dan bukan lagi menjadi beban pemerintah,” kata Alumni SMA Negeri 3 Jayapura ini.
Memilih Bidang Studi yang Relevan di Papua
Ketiga, kata George Saa, jika Pemprov Papua menginginkan para penerima beasiswa kembali mengabdi di Papua maka bidang studi harus dibatasi khususnya yang relevan dengan kebutuhan Papua 10-20 tahun ke depan.
Menurutnya, beasiswa yang diberikan oleh Pemprov Papua dibuka bebas sehingga penerimanya pun diberi keleluasaan dalam memilih jurusan, walau terkadang jurusan yang masih jauh jaraknya bila ingin diaplikasikan.
“Contoh kecil semisalnya teknik nuklir ataupun ilmu sains yang sangat rumit seperti astronomi atau sejenisnya. Bukan berarti saya menilai bidang-bidang high-technology ini tidak penting namun kalau memang Papua mau pembangunan infrastruktur di Papua dikerjakan oleh anak Papua yang mendapat beasiswa, mereka harus mengambil jurusan strategis, seperti teknik sipil, arsitektur, teknik struktur, teknik mesin, teknik listrik, teknik perkapalan, teknik pesawat ringan, teknik kimia, teknik proses ataupun manajemen konstruksi,” katanya.
“Bila fokus Papua adalah bangun jalan, bandara, pelabuhan, pembangkit listrik, pabrik semen, pabrik gas, pabrik kimia atau pabrik-pabrik strategis lainnya, maka beasiswa yang harus dibuka adalah beasiswa berdasarkan jurusan yang ditentukan dari awal,” kata George Saa.
Penguasaan Bahasa Asing
Keempat, kata George Saa, Pemprov Papua harus benar-benar mempersiapkan penerima beasiswa agar mampu menguasai bahasa asing, khususnya bahasa Inggris.
Umumnya, mereka yang menerima beasiswa program S1 tidak memiliki kemampuan bahasa asing khususnya bahasa Inggris yang cukup memadai. Akibatnya, Pemprov terkadang harus membayar ekstra untuk ikut kursus bahasa terlebih dahulu dan ini tentu akan butuh waktu lebih lama dan biaya yang lebih besar.
“Usul saya, mereka harus digembleng dan dididik bahas Inggrisnya cukup di Papua saja. Di Papua, lembaga bahasa seperti Papua Language Institute dapat menjadi mitra Pemprov untuk pengemblengan ini. Juga, lembaga bahasa di UNCEN, TITIP, dan di institusi lainnya yang ada di Papua dapat juga ikut berperan untuk mempersiapkan bahasa inggris mereka. Jadi, sampai di luar negeri, mereka sudah siap untuk ikut perkuliahan dengan baik,” ujarnya.
Penerima Beasiswa adalah Duta Bangsa
Kelima dan terakhir, kata George Saa, anak-anak Papua yang dikirim ke luar negeri sangat sedikit yang diberikan bimbingan tentang identitas mereka sebagai putra putri Papua atau orang Indonesia. Mereka kurang didoktrin sehingga terkadang motivasi mereka rapuh dan cepat menyerah. Lebih parah lagi, mereka karena kurang diberikan pendidikan kepemimpinan juga penguatan kultur orang Papua, mereka dengan mudah dapat mengadopsi kehidupan orang-orang di negara maju.
“Saya contohkan misalnya refreshing yang berlebih contohnya clubbing malam, teguk alkohol ataupun bisa jadi seks bebas misalnya. Singkatnya, kita harus tanamkan daya juang yang tinggi bagi mereka karena mereka pergi kesana adalah sebagai duta bangsa atau wakil-wakil Papua. Mereka adalah wajah dan cermin orang Papua,” kata George Saa yang menamatkan pendidikan Program Sarjana (S1) dalam bidang Aerospace Engineering di Florida, Amerika Serikat.
“Hal ini sangat penting untuk saya sampaikan karena pengalaman telah membuktikan ini. Bila seorang anak Papua tidak sadar akan tugas berat yang dia bawa ketika pergi belajar di negeri orang, mereka akan kehilangan arah bahkan lupa alasan apa mereka dikirim untuk belajar sampai ke negara-negara maju ini,” kata Saa yang kini menjadi pengajar program sarjana dan peneliti di University of Birmingham disela kuliah Magisternya.
Pada akhir surat elektroniknya, George Saa menitipkan harapan semoga sarannya didengar oleh pemimpin di tanah Papua sehingga harapan perubahan dengan mengirim putra putri Papua menuntut ilmu di luar negeri bisa tercapai. (Mas)