Connect with us

Nasional

Amnesty International Indonesia Hanya Ingin Memojokkan TNI-Polri di Papua

Published

on

JAYAPURA, Kabartanahpapua.com – Komando Daerah Militer (Kodam) XVII Cenderawasih membantah laporan lembaga pemantau Hak Asasi Manusia (HAM) Amnesty International Indonesia yang menuding Polri dan TNI telah melakukan pembunuhan di luar prosedur hukum (unlawful killings) terhadap 95 orang di Papua dalam kurun waktu 8 tahun terakhir.

Dalam keterangan pers yang disampaikan Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid di Jakarta, Senin (2/7/2018), menyebut 85 orang dari jumlah korban itu adalah orang asli Papua (OAP) yang kerap dikaitkan dengan gerakan separatisme.

“Kalau mereka (Amnesty International Indonesia) mengatakan TNI menembaki orang tak berdosa di Papua tanpa sebab dan proses hukum, itu fitnah,” ujar Kepala Penerangan Kodam XVII Cenderawasih Kolonel Inf Muhammad Aidi dalam keterangan tertulisnya di Jayapura, Selasa (3/7/2018).

(Baca Juga: Kodam Cenderawasih Kecam Tindakan Brutal KKSB di Kabupaten Nduga)

Menurut Aidi, tidak benar jika ada korban meninggal tanpa sebab, karena jatuhnya korban jiwa merupakan ekses dari penindakan aksi separatisme bersenjata. Gerakan separatis atau perjuangan kemerdekaan adalah tindakan melawan kedaulatan negara dan itu yang menjadi penyebab utama.

Berdasarkan data Polda Papua pada periode 2009-2018 tercatat ada 328 aksi kriminal bersenjata yang mengakibatkan 21 anggota TNI, 30 anggota Polri, dan 78 warga sipil yang meninggal dunia. Selain itu, ada 62 anggota TNI, 57 anggota Polri, dan 117 warga sipil yang mengalami luka-luka dalam kejadian tersebut.

“Jika mengatakan bahwa hanya warga sipil bersenjata yang menjadi korban juga tidak benar, karena anggota TNI dan polisi pun banyak yang menjadi korban,” kata Aidi menjelaskan.

Data Sepihak

Aidi menilai rilis dari Amnesty International Indonesia tersebut adalah klaim sepihak karena hanya mengambil keterangan dari korban tanpa menyandingkan dengan keterangan dari Polda Papua ataupun Kodam Cenderawasih.

“Lembaga pemantau HAM seperti Amnesty Internasional Indonesia ini hanya menyoroti akhir kejadian di mana ada jatuh korban jiwa, tapi tak pernah jujur mengungkap proses kejadian dan akar masalahnya. Yang lebih miris keterangan yang dipakai hanya dari korban tanpa data dari aparat keamanan,” kata Aidi.

Sebagai contoh, kata Aidi, keterangan Amnesty International Indonesia yang menyebut 56 orang korban meninggal dunia tidak terkait dengan gerakan separatisme. Selain itu ada 39 orang menjadi korban karena melakukan kegiatan pro kemerdekaan secara damai.

“Aparat TNI-Polri selalu dituduh berada dibalik kematian yang menimpa aktivis atau warga sipil di Papua. Padahal faktanya, korban kecelakaan lalu lintas, korban tawuran antarkampung atau yang sering disebut perang suku, atau kekerasan lainnya sering di unggah melalui media sosial dan menyebut sebagai korban kekejaman aparat,” ujar Aidi.

(Baca Juga: Pendeta Lipius Biniluk: Kehadiran TNI Mulai Diterima Masyarakat Papua)

“Tengoklah kebiasaan mabuk-mabukan yang menjadi penyebab terbanyak kasus kecelakaan lalu lintas. Demikian juga saat aparat TNI-Polri berusaha melerai tawuran antarkampung atau kelompok, yang justru dituduh menjadi provokator kejadian itu,” kata Aidi menambahkan.

Aidi mengungkit kembali kasus Paniai pada Desember 2014 lalu yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa. Kejadian itu yang disorot hanya jatuhnya korban jiwa, tapi tidak pernah membahas situasi pada saat itu ketika ribuan orang bersenjata tajam dan bahkan ada yang membawa senjata api menyerang pos aparat.

“Dengan kondisi seperti itu aparat pasti akan membela diri dan bertindak tegas sehingga mengakibatkan jatuhnya korban jiwa. Jika, tidak ada kondisi yang membahayakan jiwa aparat, tidak mungkin mereka akan mengambil tindakan tegas sebagai pembelaan diri,” ujar Aidi.

Separatisme dan Aksi Bersenjata Jadi Sumber Masalah di Papua

Aidi mengatakan sumber masalah utama di Papua karena ada sekelompok orang yang mengangkat senjata secara ilegal merongrong kedaulatan negara menuntut merdeka pisah dari NKRI.

Namun, anehnya jika ada anggota atau simpatisan pro-kemerdekaan meninggal dunia justru dianggap benar dan menuntut keadilan, bahkan jika mereka bersenjata sekalipun.

“Memiliki senjata secara ilegal jelas sudah salah, terlebih jika berupaya melakukan tindakan makar melawan Pemerintah yang sah. Hukum di negara manapun tidak ada yang membenarkan hal ini. Tapi anehnya justru dibela oleh kelompok yang pembela HAM,” kata Aidi.

Demikian juga dengan klaim aksi damai pro-kemerdekaan yang jelas akan berhadapan dengan aparat. Bahkan dalam beberapa kasus aksi-aksi ini berujung tindakan anarkis yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa.

“Tapi sekali lagi, aparat yang bertugas membela kedaulatan negaranya justru dituding sebagai pelanggar HAM, dan mereka yang jelas melakukan gerakan makar justru tidak dipersoalkan, bahkan dilindungi,” ucap Aidi.

(Baca Juga: Ini Bukti Keberhasilan Pendekatan Teritorial Kodam Cenderawasih)

“Inilah yang menjadi masalah, karena kesannya kelompok-kelompok pemantau HAM justru berlindung dibalik kata kritik, namun terkesan hanya mencari-cari kesalahan untuk memojokkan aparat TNI-Polri. Kenapa pemantau HAM ini tidak pernah menyoroti aksi kelompok kriminal separatis bersenjata (KKSB) yang membantai aparat negara dan warga sipil?” kata Aidi menambahkan.

Aidi mencontohkan kasus pembantaian warga sipil yang dilakukan KKSB di Bandar Udara Kenyam beberapa hari sebelum pelaksanaan Pilkada Provinsi Papua. Pada kejadian ini, anak umur 6 tahun dipaksa menyaksikan orang tua mereka dibunuh sebelum ia sendiri dibacok di wajahnya dan nyaris tewas.

Penembakan terhadap pesawat komersial yang menjadi sarana transportasi vital untuk warga pedalaman. Demikian juga dengan penembakan terhadap kepala Distrik Torere dan dua anggota Polri yang mengawal logistik pemilu. Atau penyerangan terhadap aparat yang bertugas mengamankan jalur transportasi jelang perayaan Idul Fitri di Puncak Jaya.

“Amnesty International Indonesia atau lembaga HAM lainnya tidak pernah menyoroti kasus-kasus seperti ini. Kamilah yang menjadi korban, padahal kami bertindak berdasarkan kaidah dan kode etik serta Undang-Undang yang berlaku. Sementara KKSB yang bertindak seenaknya tanpa norma dan aturan, tak mengenal combatan dan non combatan, warga sipil bahkan anak kecilpun dibantai tanpa ampun,” ucap mantan Dandim 1702 Jayawijaya ini.

Dalam kasus penyanderaan terhadap 1.300-an warga di Tembagapura pada 2017 lalu, kata Aidi, TNI tidak melakukan operasi besar-besaran dengan pengerahan peralatan tempur seperti pesawat tempur, helikopter, atau peralatan berat lainnya. Menurut Aidi, kebijakan tersebut tidak dilakukan TNI bertujuan untuk menghindarkan jatuhnya korban jiwa dan menjunjung norma dan aturan yang berlaku.

“Bukankan menyandera itu melanggar HAM berat. Mereka menuntut merdeka tapi sebaliknya merampas hak dan kemerdekaan warga lain. Demi menghormati HAM, TNI tidak melakukan operasi militer besar-besaran walau itu bisa saja kami lakukan,” kata Aidi.

Pendekatan Teritorial dan Kesejahteraan 

Mayjen TNI George Elnadus Supit yang kini menjadi Pangdam Cenderawasih, kata Aidi, menekankan penanggulangan gangguan keamanan di Papua dengan mengedepankan pendekatan teritorial.
Alasannya, karena Papua berstatus tertib sipil sama seperti daerah lain di Indonesia, dan bukan daerah operasi militer.

“Kami bersifat pasif, tidak akan melakukan pengejaran. Tapi jika diserang barulah kami membalas dan kami berupaya seminimal mungkin jatuhnya korban jiwa,” ungkap Aidi.

(Baca Juga: Cantiasa: Jangan Pernah Menyakiti Hati Rakyat)

Saat ini, di seluruh wilayah Kodam Cenderawasih justru aktif melakukan pendekatan teritorial dengan pendekatan kesejahteraan kepada masyarakat. Anggota TNI mendampingi masyarakat bercocok tanam, memperbaiki fasilitas umum, dan bahkan ada yang menjadi guru atau perawat jika di daerah tersebut belum ada petugasnya.

“Itu yang menjadi komitmen pimpinan Kodam Cenderawasih saat ini, jadi tidak mungkin kami justru melakukan seperti yang dituduhkan oleh Amnesty International Indonesia ini,” kata Aidi menegaskan. (Ong)

Komentar